Alam Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur yang berbukit dan
bergunung-gunung memiliki karakter khas yang bertolak belakang. Meski
musim kemaraunya lebih panjang—sekitar delapan bulan setahun—ketika
memasuki musim hujan, curah hujan yang tinggi acapkali memicu bencana
longsor dan banjir.
Harap maklum. Ketika
kemarau, umumnya karakter tanah di daerah dengan kemiringan tertentu
mengering. Butiran tanah lepas dan tanah-tanah merekah. Akibatnya,
begitu musim hujan datang, air hujan yang mengguyur sering kali membuat
tebing-tebing runtuh, dan terjadilah banjir dan longsor.
Ancaman
erosi ini bukan hanya mengancam sumber pangan dan kekayaan alam,
melainkan juga keselamatan manusia. Itu sebabnya, guna mencegah
erosi, terutama di daerah dengan kemiringan tertentu atau daerah yang
punya aliran sungai, penduduk umumnya mengonservasi tanah dengan sistem
terasering.
Model persawahan terasering di Flores antara lain
dapat dijumpai di Desa Waturaka, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende,
sekitar 45 kilometer dari kota Ende. Persawahan terasering mudah
dijumpai di Kabupaten Ngada, Manggarai, Mbay, dan Nagekeo, semuanya
di Pulau Flores.
Terasering merupakan bangunan konservasi tanah,
teras-teras yang dibuat sejajar dengan garis kontur alam yang dilengkapi
dengan saluran peresapan, saluran pembuangan air, dan tanaman penguat
teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.
Dengan panorama
sangat indah, hawa sejuk, dan udara yang bersih, tanaman padi yang
menghijau tumbuh subur di sana bersanding dengan beberapa pohon kelapa
yang menjulang. Demikian juga sejumlah lahan bisa ditanami sayur,
termasuk tomat. Padi sawah di Waturaka itu tertata rapi berhektar-hektar
dalam sistem terasering bertingkat-tingkat.
”Alam seperti di
Flores yang berbukit-bukit dan curam, dengan tingkat kemiringan 45-65
derajat, memang yang cocok dengan pertanian model persawahan
terasering,” kata mantan Kepala Dinas Pertanian Sikka Viator Parera.
Terasering
yang menonjol dapat dijumpai di Ende, Ngada, atau Manggarai. Di kawasan
Waturaka dapat pula dijumpai model terasering di Desa Wologai,
Kecamatan Detusoko, Ende.
Luas tanaman padi sawah di desa ini
mencapai 120 hektar, yang seluruhnya dibuat dengan sistem terasering.
Bentuk persawahan semacam ini untuk ukuran desa tergolong paling luas di
Ende, yang mempunyai total areal padi sawah 6.000 hektar.
Sekitar
60 persen areal tanaman sawah di Ende dibuka di tanah datar, sebagian
besar terletak di Kecamatan Wewaria, Maurole, Maukaro, dan Kotabaru.
Adapun sawah model terasering sekitar 40 persen di antaranya terdapat
di Kecamatan Detusoko, Kelimutu, Detukeli, dan Ndona Timur.
”Sawah
dengan terasering di desa ini sudah dibuka sekitar tahun 1955 pada masa
Raja Lio dan tetap dipertahankan sampai kini dengan ditanami padi
lokal Mbongawani Ekoleta,” kata Kepala Desa Wologai Blasius Don Bosco
Satu.
Blasius menceritakan, awal mula dibuka persawahan di
Wologai atas permintaan Raja Lio karena daerah tersebut memiliki tanah
yang subur, banyak sungai, dan iklim yang cocok untuk padi sawah.
Berhubung
daerah ini terletak di dataran tinggi, sebagai penahan air dibuatlah
terasering. Titik tertinggi terasering di Wologai dibuat antara 800
meter dan 906 meter di atas permukaan laut. Awalnya, pembuatan
terasering dengan alat yang sederhana, yaitu menggunakan tofa (semacam
linggis) yang terbuat dari kayu.
Penduduk Desa Wologai yang
berjumlah 749 jiwa dari 220 keluarga mayoritas adalah petani, yang
terdiri dari 8 kelompok dengan anggota 141 orang.
Sampai saat
ini, penduduk Wologai tetap mempertahankan budidaya padi sawah karena
mereka juga mempertimbangkan aspek kelestarian alam.
Sebetulnya
mereka amat memungkinkan beralih ke komoditas lain, seperti tanaman
hortikultura atau tanaman perdagangan. Namun, yang dikhawatirkan, dari
kondisi tanah sawah yang berlumpur, jika budidaya berganti dengan
tanaman perdagangan, maka begitu masuk musim kemarau tanah akan kering
dan merekah. Ketika hujan datang longsor pun mengancam.
Dengan
budidaya padi sawah, tanah akan selalu basah karena senantiasa dialiri
air, dan terasering turut menekan limpasan air dari gunung ke hilir.
Budidaya padi sawah yang masih tetap lestari juga tak lepas dari masih
taatnya masyarakat pada adat. Ketika mosalaki (tetua adat) mengawali
menanam padi lewat upacara adat Paki Tana, semua masyarakat akan
menurut. Begitu pula di kala panen, mosalaki akan mengawali lebih dulu.
Kepala
Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Produksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten
Ende, Karel Kabesa Raya, mengatakan, dalam pertanian lahan kering dan
basah mutlak dilakukan konservasi tanah dan air, salah satunya dengan
terasering.
”Apalagi seperti di Ende yang banyak daerah
kemiringan, semakin terjal, teraseringnya juga makin tinggi. Terasering
selain berguna untuk mencegah erosi juga menyiapkan media tanam,” kata
Karel.
Padi sawah dengan model terasering juga dapat dijumpai di
sejumlah titik di wilayah Kabupaten Ngada, Flores, antara lain di Desa
Nabelena, Kecamatan Bajawa Utara. Total padi sawah di Ngada sekitar
5.000 hektar.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan
Peternakan Kabupaten Ngada Laurensius Ngiso Godja, terasering banyak
dibuat di Kecamatan Golewa. Arealnya mencapai 400 hektar sebab di
daerah itu tersedia cukup air meski berada di kemiringan. Memang ada
pula di tempat lain, seperti Riung, Soa, dan Bajawa Utara, tapi tidak
seluas yang di Golewa,” kata Laurensius.
Sementara itu, Kepala
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Manggarai Vinsen Marung
mengemukakan, penerapan terasering di Manggarai difokuskan pada lahan
untuk pengembangan tanaman sayur dan buah-buahan atau hortikultura.
Kepala
Desa Wologai Blasius Don Bosco Satu juga mengungkapkan, selama di desa
itu menerapkan terasering, sampai saat ini masyarakat setempat dapat
terhindar dari bencana banjir dan longsor.
Mereka panen padi dua
kali setahun, yakni pada bulan Desember-Februari dan bulan Juli-Agustus.
Tingkat produksi rata-rata 6,3 ton per hektar. Masa panen padi lokal
jenis ini memang relatif lama, yakni 5-6 bulan. Ada empat macam
varietas Mbongawani Ekoleta, yakni yang putih besar, putih kecil, merah
besar (beras merah), dan merah kecil.
Beras dari Wologai yang
dikenal dengan beras ekoleta itu sudah terkenal di wilayah NTT, dan
karena citarasanya yang khas, harganya pun relatif lebih mahal
dibandingkan beras jenis lain, yakni antara Rp 7.000 per kilogram dan
Rp 7.500 per kilogram di tingkat petani.
Warga Wologai sampai
saat ini dapat menikmati kesejahteraan dari hasil panen padi sawah.
Mereka juga hidup tenang dan aman dari bencana banjir dan longsor dengan
model terasering yang diterapkan selama ini. Alam yang dijaga dengan
baik akan memberi hasil yang baik pula bagi kehidupan warga sekitar.
Sebaliknya, alam akan murka jika manusia mengeksploitasinya secara
serampangan....